Delapan Koma Satu
Sembari menikmati secangkir kopi pahit buatan sendiri, tiba-tiba aku begitu bernafsu untuk bercerita tentang Ibu. Bukan seperti yang kebanyakan orang lakukan. Bukan soal puja puji dan sanjungan kepada Ibu mereka. Bukan pula soal kelembutan dan kasih sayang Ibu kepada anak-anaknya. Tulisan ini mungkin saja akan menyebar bibit-bibit kutukan terhadapku, sebab betapa durhaka seorang anak ngomongin Ibunya sendiri.
Sebelum lebih jauh menuliskan cerita ini, lebih dahulu aku mohon ampun pada Tuhan. Sebab sudah banyak sabda, nyanyian, syair dan fatwa bahwa surga itu letaknya di telapak kaki Ibu. Coba meminta agar tulisan ini nantinya tidak ikut ditimbang dan masuk kategori dosa besar. Tapi dengan bodohnya, beberapa kali aku mengintip dan bahkan terang-terangan mengangkat kaki Ibu, belum sedikitpun terlihat cahaya bahkan sedikit saja celah surga itu terlihat. Maaf lagi, aku terlalu semangat dan penasaran seperti apa rupa surga itu. Silahkan kalian mengumpat, itu namanya kemerdekaan berpendapat.
Nanti lain waktu boleh aku perdengarkan pada kalian lewat voice recorder suara Ibu yang ‘merdu’ ketika memanggilku. Tapi ada baiknya sebelum itu kalian melatih pendengaran dengan hentakan musik rock atau aliran metal. Aku berani bertaruh sedetik setelah mendengar suara Ibuku kalian akan terdiam, kemudian saraf di seluruh tubuh mengirim pesan kepada otak lalu menggembungkan perasaan dongkol. Kenyataan ini setiap hari kulalui dengan hati dan jiwa yang diusahakan selalu lapang. Karena acap kali Ibu memanggil, entah untuk mengangkat jemuran di samping rumah, atau sekedar minta diisikan pulsa, suaranya akan didengar seantero kampung. Aku serius, melebihi presiden yang mengurusi hajat hidup rakyatnya yang 200 juta lebih.
Dalam peradaban manusia normalnya level tertinggi suara manusia dapat diukur pada 8 oktaf, maka Ibuku mesti 8,1. Ajaib! Pikirku seketika. Dalam tubuhnya yang tidak begitu berisi - bisa dibilang kurus untuk ukuran beranak tiga - tersimpan pundi pundi suara yang begitu dahsyat. Sekali ia bicara maka kau akan mengingatnya untuk sepuluh tahun mendatang. Bukan karena takjub akan kalimatnya yang indah bak puisi, tapi telingamu secara alami dapat menyimpan ‘ledakan dahsyat’ yang belum pernah kaudengar.
Mungkin kalian sering mendengar alunan lagu dari penyanyi ternama seperti Whitney Houston, begitu luar biasa power dan berkarakter suara itu. Atau mungkin solois sekalas Anggun C Sasmi? Sangat jarang orang bisa menirukan lagu yang pernah mereka populerkan. Tapi bagi Ibu, mereka itu lawan yang sepadan, hanya nasib saja yang jika diibaratkan akan seperti bumi dan langit. Perbandingannya bukan dari teknik vokal, penguasaan panggung, atau harmoni yang keluar dari pita suara. Tapi ini soal lengkingannya. Kalau boleh menuliskan, suara Ibu ibarat petir siang bolong. Mampu menyambar siapa siapa yang dekat dengannya.
Kalau ada sanak saudara yang memiliki bayi berkunjung ke rumah, sebisa mungkin aku mengatur suasana hati Ibu agar lebih stabil. Atau jika ada teman baru yang sedikit kalem ingin silaturahmi dengan beliau, tak sedetikpun mereka kubiarkan bebas bercengkrama. Atau konsekuensinya mereka pulang dalam kondisi serangan jantung.
Sering aku merasa jengkel, sampai rasa jengkel itu bosan mendatangi kepalaku mendengar suara Ibu. Kadang juga kalau sudah terlalu, aku minta pada Tuhan untuk memekakkan saja telinga ini. Tapi buru-buru kubatalkan permintaan itu, sebab Tuhan maha mendengar doa hambanya. Kacau juga dunia ini dengan telinga yang tak bisa mendengar apa-apa, pikirku kemudian.
Tak jarang aku membayangkan Ibu seperti Ibu-Ibu normal pada umumnya. Ibu-Ibu yang dalam konteks ini adalah mereka yang lemah lembut, halus bahasanya, yang jika bicara ibarat puisi hidup dialirkan menuju rongga telinga melalui udara. Ibu yang seperti ini hanya menjadi mitos, fiktif.
Tapi di balik semua itu patutnya aku lebih banyak bersyukur. Setidak-tidaknya dengan mudah bisa kubaca perasaan dan suasana hatinya. Jika ia sedang baik-baik saja, maka sepanjang hari aku akan mendengarkan 9,1 oktafnya. Mengomeli adik yang sangat malas jika disuruh mandi sore. Menyapa orang-orang yang lalu lalang di depan rumah kami. Minta tolong Bapak untuk dipanjatkan kelapa di halaman belakang. Atau sekedar minta aku oleskan minyak angin ke tubuhnya. Cukup perhatikan saja, jika ketika berbicara seperti pakai toa, maka semua adalah normal. Tapi, kalau sudah bicara dengan ketukan lebih rendah dan tempo yang lebih lambat, pastilah ia sedang merasakan ‘sakit’ entah fisik atau hatinya.
Untuk hal semacam ini entah kenapa, aku merasa Tuhan dengan begitu adil dan bijaksana menghadirkan Bapak sebagai jodoh Ibu. Bapak yang sangat kontras dalam hal apapun jika disandingkan dengan Ibu. Kecuali warna kulit mereka, kulit pribumi pada umumnya, sawo matang. Bapak yang hanya akan angkat suara hanya saat urusan begitu mendesak. Bapak yang hanya mau ngobrol santai pada momen tertentu. Bapak yang lebih banyak mendengar celoteh Ibu ketimbang berkomentar barang sepatah dua patah kata. Mungkin benarlah apa yang orang orang bilang, kalau jodoh itu saling melengkapi. Sepanjang 25 tahun kurasakan lewat panca indera, memang begitulah adanya.
Baru sedetik tadi, aku mendengar (lagi) ‘bisikan lembut’ 8,1 oktaf.
Aku baru ingat belum mengangkat jemuran, dan kopi pahit ini hanya tersisa ampasnya.
Komentar
Posting Komentar