Cerita Tangkai Sapu

Kemarin siang aku makan bersama bapak dan ibu, di rumah kami yang luasnya tidak lebih dari 9x7 meter persegi. Tidak ada lauk yang istimewa seperti di meja-meja restoran mahal. Tidak pula dilengkapi dengan hidangan pencuci mulut. Hanya nasi, lauk, dan sayur yang menuruku itu sudah mencukupi kebutuhan gizi kami. Kedua adikku sudah lebih dulu makan siang.

Saat sedang lahapnya aku mengunyah makanan, tiba-tiba bapak terkekeh. Sambil menatap penuh arti ke arah ibu yang sedang menikmati makannya. Sedetik kemudian ibuku pun ikut tertawa terbahak-bahak. Aku yang tidak mengerti situasi lalu bertanya kepada bapak.

“kenapa bapak sama ibuk ketawa begitu, apakah ada yang lucu”, dahiku berkerut karena penasaran.

Bapak hampir memuntahkan makanan yang belum sempat ia telan.

“Mak mu itu lucu, entah karena terlalu lelah bekerja entah karena sedang mengantuk. Masa iya tetangganya meminjam palu dicatat dalam buku bon”

“Lah kok bisa begitu pak” Tanyaku

Wong bapak liat sendiri kok, diantara bon yang tercatat di buku itu, ada tulisan palu walaupun buru buru dicoret ibukmu. Kecuali kita ini punya toko bahan bangunan, haha”

Spontan aku ikut terkekeh mendengar hal itu. Hampir saja aku menangis karena tidak tahan dengan mendengar kisah palu itu.
Beberapa bulan terakhir, bapak inisiatif membuat kedai harian. Katanya untuk nambah penghasilan. Maklum saja kebun sawit kami yang di belakang rumah hanya cukup untuk keperluan sehari hari. Sejak membuka kedai, tetangga seberang rumah kami sering ngebon alias ngutang.

Yang spesial dari makan siang itu adalah karena aku puas tertawa bersama mereka. Makanan yang dibuat oleh ibu terasa nikmat karena aku begitu bersemangat. Biasanya ibu kalau masak itu ibarat garam dicampur bahan masakan lain, saking asinnya. Ibu mungkin terpengaruh kemelayuan –yang katanya suka masak yang asin asin dan pedas. Mau masak sendiri pasti nanti aku bakal diomelin ibu, kurang inilah kurang itulah. Alhasil aku sendiri sudah lupa kapan kali terakhir aku masak di rumah, kecuali masak mi instan dan meracik teh dan kopi.

Keluargaku memang tidak bisa disebut keluarga cemara. Kadang kami seperti teman saja. Kadang juga kaku. Seringkali aku iri terhadap kawan-kawan yang begitu akrab dengan ayah dan ibu mereka. Apalagi dulu, saat aku masih tinggal di kota untuk sekolah, mereka jarang sekali menelepon menanyakan kabarku. Tidak seperti teman yang lain, yang hampir tiap hari ditanyai kabarnya, sudah makan apa belum nak. Ah, orangtuaku memang tak seromantis itu.

Kalau hari hari libur begini, jangan pernah tanya aku dan keluarga liburan kemana. Karena jawabannya hampir ‘tidak pernah’. Dari aku kecil, saat hari libur ayah hanya mengajak aku dan adikku pergi memancing ikan di sungai agak jauh dari rumah. Menggunakan motor tua hasil jualan sayur, yang pada zamannya sudah menjadi barang mewah –setidaknya bagi kami. Pergi dari pagi dengan membawa bekal makanan seadanya, hingga petang. Masih ingat dulu aku sehabis pulang memancing ibu selalu mengoles bawang merah ke sekujur tubuh karena habis digigit nyamuk. Sambil mengomel begini, “sudah dibilang kalau ikut mancing itu pakai baju sama celana panjang”.

Kalau liburan sekolah sekarang, berhubung aku punya adik yang masih kecil giliran dia yang ikut bapak memancing. Tidak tahu lah aku entah kemana, karena sungai sungai di dekat rumahku ikannya mungkin bisa dihitung jari.

Lupakanlah soal orangtua romantis impianku. Mereka begini saja sudah cukup. Aku bersyukur. Di tengah kehidupan kami yang sangat sederhana ini, aku masih sering melihat bapak dan ibu bercanda saling menggoda. Kadang tingkah mereka seperti abg 17 tahun. Pernah aku memergoki ibu memukuli bapak dengan tangkai sapu karena geram. Tapi tidak, jangan salah sangka dulu, ibu memukul penuh kasih sayang setidaknya bapak belum pernah patah tulang.

Aku tidak lagi iri melihat teman-temanku berlibur bersama keluarganya. Apalagi di zaman yang katanya modern ini apa apa harus diperlihatkan ke khalayak ramai. Apapun kegiatan harus diposting ke media sosial. Liburan, makan, hang out, di kamar, di kolam renang, hanya kegiatan di kamar mandi saja yang belum pernah aku lihat. Yah, bermacam macam motif manusia. Entah memang sekedar mengabadikan momen, atau untuk sebuah eksistensi diri. Biarkan manusia bebas dengan pemikirannya.

Tuhan itu adil. Tuhan itu memberikan apa yang hambanya butuhkan, bukan apa yang hambanya ingin. Setidaknya kalimat itu memiliki berjuta makna di kepalaku. Mungkin saja yang memerlukan kemewahan dan liburan seru bersama keluarga hanya mereka. Sementara aku cukup melihat bapak dan ibu sehat dan tertawa. Mungkin saja yang memerlukan mobil mewah sampai dua, tiga atau empat hanya mereka. Sementara aku dan keluarga cukup dengak kendaraan roda dua, berhujan hujanan dan berpanas panasan bersama.

Tuhan itu adil. Memberikan kebahagiaan yang secukup hambanya perlu. Malah aku berpikiran, mungkin kalau aku terlahir dari keluarga kaya aku tidak akan sebahagia sekarang. Mungkin aku akan jadi anak keras kepala yang manja, sombong dengan harta benda yang sifatnya sementara. Atau boleh jadi adalah orang serakah, tidak pernah cukup dengan apa yang ada. Maaf aku tidak bermaksud mencela atau menyindir siapapun juga.

Makan siang itu ditutup segelas kopi hitam yang kuracik sendiri. Pekat dan tidak terlalu manis, kenikmatan sederhana dalam rumah 9X7 meter persegi.

“Tumben enak nih!”, seru bapak.  Aku tersenyum.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar untuk...