Postingan

Delapan Koma Satu

Sembari menikmati secangkir kopi pahit buatan sendiri, tiba- tiba ak u begitu bernafsu untuk bercerita tentang Ibu. Bukan seperti yang kebanyakan orang lakukan. Bukan soal puja puji dan sanjungan kepada Ibu mereka. Bukan pula soal kelembutan dan kasih sayang Ibu kepada anak- anaknya. Tulisan ini mungki n saja akan menyebar bibit-bibit kutukan terhadapku, sebab betap a durhaka seorang anak ngomongin Ibunya sendiri. Sebelum lebih jauh menuliskan cerita ini, lebih dahulu aku mohon ampun pada Tuhan. Sebab sudah banyak sabda, nyanyian, syair dan fatwa bahwa surga itu letaknya di telapak kaki Ibu. Coba meminta agar tulisan ini nantinya tidak ikut ditimbang dan masuk kategori dosa besar. Tapi dengan bodohnya, beberapa kali aku mengintip dan bahkan terang-terangan mengangkat kaki Ibu, belum sedikitpun terlihat cahaya bahkan sedikit saja celah surga itu terlihat. Maaf lagi, aku terlalu semangat dan penasaran seperti apa rupa surga itu. Silahkan kalian mengumpat, itu namanya kemerdekaan ber...

Cerita Tangkai Sapu

Kemarin siang aku makan bersama bapak dan ibu , di rumah kami yang luasnya tidak lebih dari 9x7 meter persegi. Tidak ada lauk yang istimewa seperti di meja-meja rest o ran mahal. Tidak pula dilengkapi dengan hidangan pencuci mulut. Hanya nasi, lauk, dan sayur yang menuruku itu sudah mencukupi kebutuhan gizi kami. Kedua adikku sudah lebih dulu makan siang. Saat sedang lahapnya aku mengunyah makanan, tiba-tiba bapak terkekeh. Sambil menatap penuh arti ke arah ibu yang sedang menikmati makannya. Sedetik kemudian ibuku pun ikut tertawa terbahak-bahak. Aku yang tidak mengerti situasi lalu bertanya kepada bapak . “kenapa bapak sama ibuk ketawa begitu, apakah ada yang lucu” , dahiku berkerut karena penasaran. Bapak hampir memuntahkan makanan yang belum sempat ia telan. “M ak mu itu lucu, entah karena terlalu lelah bekerja entah karena sedang mengantuk. Masa iya tetangganya meminjam palu dicatat dalam buku b o n” “L ah k o k bisa begitu pak” Tanyaku ...

Belajar untuk...

Baiklah, beberapa hari lalu dalam larut diskusi kita menyatu. Katamu puisi itu seperti seseorang yg dapat mengukur sejauh mana kelembutan hatinya. Meski aku tak serta merta terima saja, akan aku coba melunakkan sedikit saja hatiku ini. Tapi untuk sementara ini, izinkan saja aku menulis ulang puisi milik orang lain. Dari salah satu pegiat musik kesukaanku, payung teduh. Hampir aku hanyut oleh rangkai kata indah mas Is. Dia sempurna, menjadikan kalimatnya penuh cinta. Nanti, suatu saat aku akan menulis sebuah puisi sederhana untukmu. Aku berjanji. Pada lebat belantara kota sepi dan sendu kulagukan merdu Pada semua gurau yang menguap menyisakan parau Kusertakan rayuan yang masih malu-malu Pada lirik-lirik yang ragu ini biarkan rindu tetap melaju menyerbu telingamu penuh seru Pada setiap waktu yang berlalu dalam jemu, biarkan semua suara tetap merdu

Surat untuk desember

Kau bilang sudah temukan cinta yang kaucari. Aku kemudian berfikir, cinta seperti apa yang kau maksudkan? Seringkali hati membuat ku bingung. Ia merasa hampa dalam kesendirian yang k ujalani. Kemudian menc o ba dan mencari cari kebahagiaan kecil bernama cinta. Berteman lalu dekat. Dekat lalu hati menjadi erat dalam suatu ikatan. Tidak jarang juga yang dekat ke mudian hilang tanpa menyisakan apapun . Kali pertama s etelah ia datang dari perjalanan yang cukup panjang, kemudian akal dan l o gikak u menari nari di atas kebahagiaan itu. Bertanya tanya, apakah benar ini yang aku inginkan. Apakah benar kebahagiaan kecil ini  layak untuk aku perjuangkan. Katamu cinta itu berbahaya, sampai kau benar bertemu dengannya. Walaupun aku tidak tahu untuk siapa dan bagaimana wujud cintamu itu. Sebentar saja aku tepikan eg o ku sebagai manusia biasa, sebagai insan ciptaan yang terpelihara dan ingin d ijaga. Pastilah T uhan sedang cemburu saaat ini. Sebab mahluknya ini lebih banyak memikirkan...